

Democrazy: Kebebasan yang Tertukar
Kalau dengar "monarki", kebanyakan orang langsung mikir otoriter. Tapi, anehnya, Inggris yang punya ratu justru lebih longgar dalam hal kebebasan sipil dibanding Indonesia yang ngaku demokrasi. Kok bisa ya? Mari kita ulik lebih dalam.
Sistem pemerintahan Inggris itu unik. Mereka pakai monarki konstitusional, artinya kepala negaranya (sekarang Raja Charles III) cuma simbolik. Yang ngatur negara sebenarnya Perdana Menteri dan parlemen. Jadi, kekuasaan raja terbatas hukum.
Sedangkan Indonesia menganut sistem presidensial. Presiden punya wewenang luas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Di atas kertas, demokratis. Tapi dalam praktik, banyak hal malah ditentukan elite politik dan partai.
Di Inggris, parlemen punya dua kamar: House of Commons (dipilih rakyat) dan House of Lords (dudukannya berdasarkan gelar, warisan, atau penunjukan). Commons yang paling kuat, dan perdana menteri berasal dari partai yang menang di sana.
Di Indonesia, parlemen terdiri dari DPR dan DPD. Tapi realitanya, mayoritas kekuatan ada di DPR, yang penuh dengan wajah lama. Pemilu memang rutin, tapi politik uang dan dinasti bikin hasilnya sering nggak mewakili rakyat. Nggak heran kalau Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 cuma dapat skor 34 dari 100, peringkat 115 dari 180 negara. Bandingkan sama Inggris yang dapat skor 73 dan duduk di peringkat 20 dunia.
Dalam urusan sosial, Inggris lebih terbuka. Demonstrasi, kritik pedas, sampai meme soal perdana menteri bisa bebas tersebar. Selama nggak mengandung ujaran kebencian, itu dianggap bagian dari kebebasan berekspresi. Nggak aneh kalau skor kebebasan sipil Inggris menurut Freedom House 2024 ada di angka 93 dari 100. Indonesia? Cuma 58 dari 100—dan itu udah termasuk status “Partly Free”.
Di Indonesia, ngomongin pejabat dikit aja bisa diseret. Banyak kasus warga yang dilaporin UU ITE cuma karena kritik di medsos. Padahal itu bentuk ekspresi. Negara sering merasa tersinggung, kayak terlalu sensitif gitu. SAFEnet mencatat ada lebih dari 140 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi sepanjang 2023, sebagian besar karena kritik ke pejabat.
Secara ekonomi, Inggris jelas negara maju. Tapi mereka juga punya mekanisme pengawasan ketat, terutama pada kebijakan ekonomi. Media dan masyarakat bisa bebas mengkritik, dan seringkali suara publik bisa ngubah keputusan politik.
Contohnya, rencana pemangkasan anggaran layanan kesehatan tahun 2016 yang langsung ditentang publik. Lewat demo besar, tekanan media, dan petisi online berjuta tanda tangan, pemerintah akhirnya batalin kebijakan itu. Contoh lainnya saat pemerintah ingin naikin pajak nasional asuransi tahun 2021, tekanan publik dan kritik dari media bikin kebijakan itu ditinjau ulang dan akhirnya dimodifikasi.
Media dan masyarakat bisa bebas mengkritik, dan suara publik terbukti bisa ngubah keputusan politik. Sementara di Indonesia, ekonomi banyak dipengaruhi oligarki. Beberapa nama besar pegang sektor strategis. Kritik terhadap kebijakan ekonomi kadang atau bisa banget dianggap "mengganggu stabilitas". Padahal kritik bisa jadi solusi loh.
Nah, soal penghinaan pejabat, ini menarik. Di Inggris, penghinaan terhadap raja dulu bisa dipidana, tapi sejak 2009 udah dihapus. Sekarang, mau nge-meme Ratu Elizabeth atau PM pun nggak bakal langsung dibui. Contoh, banyak meme lucu soal Boris Johnson saat pandemi. Dari rambut acak-acakan sampai salah ambil kebijakan, jadi bahan ketawa netizen. Polisi nggak buru-buru tangkap pembuat meme. Asal nggak hate speech, aman.
Sementara di Indonesia, kita tahu banyak banget kasus rakyat kecil ditangkap karena kritik. Kasus Mak Lambe Turah, atau ibu-ibu yang komplain jalan rusak, malah dilaporin. Negara kayak baperan, semua dikit-dikit dianggap penghinaan. Contoh yang paling menghebohkan: kasus penghinaan Presiden di medsos. Banyak yang diproses secara hukum meski cuma komentar sinis atau satire. Padahal, harusnya pejabat publik siap dikritik, dong.
Menurut Amnesty International, Indonesia punya catatan buruk soal kebebasan berekspresi. UU ITE sering dipakai buat bungkam suara kritis. Padahal di Inggris, hukum malah melindungi kritik asal nggak melanggar pidana lain. Pakar hukum asal Inggris, David Mead, bilang dalam bukunya Freedom of Expression, kritik terhadap pejabat harus dianggap sehat bagi demokrasi. Dia nulis, "A democracy that fears criticism is a democracy in name only."
Sementara itu, Profesor Sulistyowati Irianto dari UI pernah bilang di forum publik, bahwa demokrasi di Indonesia masih elitis. Menurutnya, sistemnya demokratis, tapi praktiknya masih feodal dan penuh tekanan sosial.
Inggris bahkan pernah punya acara TV dan karikatur yang nyindir ratu. Contohnya, acara Spitting Image yang populer karena sindiran politiknya. Hal kayak gitu dianggap sah-sah aja, asal nggak fitnah atau ajak kekerasan. Bandingkan dengan Indonesia, di mana kartun satire bisa dianggap subversif. Padahal, budaya kritik lewat seni itu justru bagian penting demokrasi. Harusnya pemimpin belajar ketawa juga, jangan baper melulu.
Soal hukum, Inggris punya Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang menjamin kebebasan berbicara. Tapi mereka juga tahu batas. Ucapan yang menyerang individu secara personal bisa dituntut lewat jalur perdata, bukan pidana. Di Indonesia, semua bisa masuk pasal. Fitnah, pencemaran nama baik, bahkan sekadar curhat bisa dijerat. Ada ketimpangan antara pejabat dan rakyat. Rakyat dikit-dikit dituntut, tapi pejabat jarang kena sanksi serupa.
Menariknya, Inggris justru punya sejarah panjang protes dan gerakan sipil. Demo soal Brexit, iklim, hingga ke Pangeran Andrew, semua jalan terus. Polisi ngatur, bukan bubarin. Di Indonesia, kadang belum mulai udah dibubarin.
Kalau ditanya siapa lebih demokratis, jujur aja, Inggris meski monarki, praktiknya lebih liberal. Rakyat lebih berdaya, hukum lebih adil, dan pemimpin lebih siap dikritik. Demokrasi bukan soal sistem doang, tapi budaya politik. Makanya, jangan cepat puas karena punya pemilu. Demokrasi bukan cuma soal kotak suara, tapi ruang berpikir dan menyuarakan pendapat. Selama rakyat masih takut ngomong, itu tandanya demokrasi kita masih setengah jalan.
Kesimpulannya, Inggris memang monarki, tapi demokrasinya lebih matang. Indonesia butuh refleksi. Demokrasi nggak cukup ditulis di konstitusi, tapi harus hadir di sikap pejabat, aparat, dan seluruh sistem hukum. Jadi, jangan heran kalau dunia internasional kadang nilai kita makin mundur dalam hal kebebasan sipil. Demokrasi tanpa kritik kayak sayur tanpa garam—hambar dan nggak sehat. Saatnya demokrasi kita naik kelas, bukan cuma kosmetik.|aras atas
Perbandingan Demokrasi: Indonesia vs Inggris
Aspek | Indonesia | Inggris |
---|---|---|
Sistem Pemerintahan | Presidensial | Monarki Konstitusional |
Skor Freedom House 2024 | 58 / 100 | 93 / 100 |
Indeks Persepsi Korupsi 2023 | 34 (Peringkat 115) | 73 (Peringkat 20) |
Kebebasan Mengkritik Pemerintah | Sering dijerat UU ITE | Dilindungi hukum (asal bukan ujaran kebencian) |
Pemberangusan Aksi Damai | Sering dibubarkan aparat | Difasilitasi dan dijaga |
Sumber: Freedom House 2024, Transparency International 2023, SAFEnet.
Komentar
Join the conversation