Aras Atas
Inggris Indonesia Jepang Arab
Nurani Jurnalisme Yang Belum Selesai
Nurani Jurnalisme Yang Belum Selesai
Refleksi mendalam tentang angkatan jurnalis yang terbuang akibat disrupsi digital dan lahirnya peran baru di era algoritma.

Ketika Jurnalis Menjadi Pengungsi Zaman

Kemarin siang, Saya berdiskusi dengan salah satu senior yang sangat mempengaruhi pola pikir saya tentang realitas hidup, sebut saja beliau dengan panggilan Mr. R. 

Kami berdiskusi banyak hal, tertawa terbahak-bahak kerap menyelinap diujung cerita. Salah satu yang kami diskusikan, banyaknya media massa yang gulung tikar di tengah kemegahan teknologi yang menggoda untuk dijamah.

Malamnya saat saya sedang menghadiri pengajian (Yasinan Calon Jamaah Haji) tetangga, saya menerima notifikasi pesan WA dari senior Mr. R, setalah saya buka, satu tulisan menarik dengan judul; “PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists” Karya Denny JA. 

Tulisan tersebut menggoda pikiran saya. Saya sempat bertanya-tanya, gaya dan jenis tulisan apa yang tepat untuk meresponsnya? Akhirnya, jemari ini pun dikerahkan. 

Sebelum jauh mengurai, saya ingin menyuguhkan penggalan syair dari James Joyce, untuk mewakili nurani sendiri; dan dunia jurnalisme yang dinakali zaman. 

"Selamat datang wahai kehidupan, aku pergi berjuta-juga kali untuk menjumpai realitas pengalamanku dan untuk menempa di bengkel jiwaku, suara hati bangsaku yang belum terbentuk"

Ulasan atas Esai Denny JA: “PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists”

Ada yang patah, tapi juga ada yang tumbuh. Begitulah kira-kira kesan yang tertinggal usai membaca esai menyentuh dari Denny JA ini. Judulnya menyiratkan semacam obituari untuk profesi wartawan, tapi isinya justru menggambarkan kelahiran baru. Bukan kelahiran dalam euforia, melainkan seperti kelahiran bayi di tengah reruntuhan kota yang hancur karena perang. Bayi itu adalah: Angkatan Displaced Journalists.

Esai ini bukan sekadar laporan tentang PHK massal. Ia adalah refleksi eksistensial, sebuah elegi sosial sekaligus seruan untuk bertransformasi. Dari awal hingga akhir, Denny JA mengajak kita menyelami dunia yang berubah dengan cepat, di mana pena bukan lagi senjata yang ampuh untuk membuka pintu rezeki.

Dari Pena ke Surat PHK

Adegan pembuka yang sangat kuat: seorang jurnalis senior duduk di halte dengan map cokelat berisi surat PHK. Sederhana, tapi penuh luka. Lalu ia menulis: “Yang lebih berat adalah kehilangan makna.” Inilah inti dari krisis ini. PHK bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tapi hilangnya identitas.

Di titik ini, Denny JA berhasil memanusiakan tragedi data. Bukan cuma 1.200 wartawan yang di-PHK—melainkan 1.200 biografi yang patah. Satu generasi yang dulu menjadi pilar demokrasi, kini mendadak menjadi pengungsi ekonomi. Tapi pengungsi ini bukan korban perang, melainkan korban perubahan zaman.

Angkatan yang Terlempar, Bukan Gagal

Denny JA memilih istilah “Displaced Journalists” dengan cerdas. Bukan “ex-journalists”, bukan “pengangguran media”, tapi “displaced”—tergeser, terbuang dari posisi asal karena gempa struktur yang lebih besar. Mereka bukan jurnalis gagal, katanya, tapi jurnalis terbaik yang tak lagi terbeli oleh pasar. Kata itu penting. Ia menyelamatkan martabat di tengah statistik yang menyakitkan.

Esai ini bukan cuma bicara tentang Indonesia, tapi membentangkan lanskap global. Dari New York ke Jakarta, dari Delhi ke Buenos Aires, nasib jurnalis senada: ruang redaksi menyusut, algoritma membesar. Wartawan kehilangan pekerjaan, bukan karena tak bisa menulis, tapi karena “mesin” bisa menulis lebih cepat, lebih murah, lebih viral.

Lahirnya Era Baru: Ghostwriters, Slack, dan Nurani Digital

Penjabaran kronologi dari BuzzFeed 2018, pandemi 2020, hingga lahirnya AI generatif seperti ChatGPT di 2022—menjadi semacam garis waktu kehamilan zaman baru. Yang lahir bukan manusia, tapi paradigma baru: jurnalisme tanpa institusi. Sebuah era di mana jurnalis tak lagi punya pelindung bernama redaksi, tapi bertarung sendirian di lautan notifikasi dan logaritma.

Frasa yang paling menusuk adalah: “Ketika keahlian menyusun fakta dan narasi tak lagi menjamin penghasilan.” Ini seperti menyaksikan koki terbaik dipecat karena restoran lebih memilih vending machine.

Antara Menyerah dan Bertahan

Sebagian jurnalis menyerah. Sebagian lain bertransformasi. Denny JA dengan jernih memotret dua kutub reaksi: ada yang jadi penganggur, ada yang jadi kreator independen. Yang menarik, ia tidak glorifikasi satu sisi. Ia tidak menyuruh semua orang “bangkit”. Ia hanya membuka kemungkinan.

Ada tiga pola survival yang ia soroti:

1. Membangun kanal sendiri,

2. Menjadikan AI sebagai mitra, dan

3. Menjadi narator independen.

Di sinilah esai ini menyentuh dimensi filsafat eksistensial. “Redaksi mungkin mati. Tapi kebenaran, cerita, dan nurani tak bisa dibunuh.” Sebuah pernyataan yang terasa seperti doa bagi profesi yang sedang sekarat.

Jurnalis: Dari Profesi Menuju Gerakan

Di bagian akhir, Denny JA menampilkan sketsa masa depan yang mungkin: jurnalis blockchain, perkumpulan freelance, podcast independen. Di tangan orang lain, ini bisa jadi mimpi utopis. Tapi Denny JA menulisnya seperti seseorang yang tahu: masa depan tidak dijanjikan, tapi bisa dirancang.

Yang paling tajam adalah penutupnya:

“Angkatan Displaced Journalists bukan akhir sebuah profesi. Melainkan awal dari cara baru hidup dari kata-kata yang menyala, jika memiliki sumber penghasilan lain.”

Ada paradoks di sana: hidup dari kata-kata, tapi butuh “sumber penghasilan lain.” Kata-kata tetap menyala, tapi api tetap butuh bahan bakar. Di sinilah letak kejujuran esai ini: optimis, tapi sadar bahwa suara tak cukup jika perut kosong.

Catatan Penutup: Dari Elegi ke Strategi

Esai ini bisa dibaca dalam dua cara: sebagai elegi, atau sebagai strategi. Elegi karena ia mengenang kematian dunia lama. Strategi karena ia menawarkan cetak biru bagi dunia baru.

Denny JA bukan sekadar menulis dengan pena, tapi dengan nurani yang membaca zaman. Ia tak sedang menulis sejarah profesi, tapi menulis ulang makna profesi itu sendiri.

Dan di akhir, kita tak lagi melihat jurnalis sebagai korban, tapi sebagai pionir. Mereka yang dulu membentuk opini publik dari balik meja redaksi, kini membentuk komunitas dari balik mikrofon podcast atau newsletter pribadi.

Jika satu hal bisa disimpulkan dari esai ini, mungkin ini;

"Zaman bisa berubah. Profesi bisa lenyap. Tapi panggilan jiwa tak akan pernah kehilangan jalannya." |s.i.w


Komentar

الانضمام إلى المحادثة

Aras Atas