

Solipsisme, Aku Marasa Paling Aku, Padahal Aku Tak Paham Keakuan Ku.
Kurator: SIW
Kira-kira Pemilu 2019, sa'at kubu Cebong dan Kampret sedang perang eksistensi di panggung nasional. Saya menulis soal Solipsisme yang menjangkit kedua kubu. Karena istilah ini adalah warisan kekayaan intelektual, saya reduksi ke persoalan individualisme. Jadi rasa-rasanya merefleksikan diri (personal dan kolektif) di abad modern ini terasa semakin penting!
Solipsisme bukan sekadar istilah filsafat kuno, melainkan refleksi paling tajam dari krisis eksistensial yang terus hidup dalam diri manusia modern. Ia menyelinap dalam kesadaran kita yang percaya bahwa dunia di luar diri hanya ilusi belaka—atau paling jauh, pantulan dari keakuan semata.
Konsep solipsisme diperkenalkan oleh René Descartes lewat kalimat terkenalnya: Cogito, ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Namun, di tangan banyak pembaca modern, makna ini menyusut: bahwa karena hanya kesadaranku yang kupahami, maka hanya akulah yang sungguh ada. Dunia eksternal dianggap tak pasti.
Dalam artikelnya di The Journal of Philosophy (2002), Thomas Nagel menekankan bahwa solipsisme muncul bukan karena kesombongan intelektual, tapi sebagai kesulitan epistemologis mendasar: “bagaimana aku bisa yakin bahwa pikiran lain, selain punyaku, sungguh-sungguh eksis?” Ini adalah dilema kesadaran manusia.
Namun jika diteruskan, solipsisme menjadi penyakit batin. Ia menutup ruang dialog, menghapus keberadaan orang lain sebagai subjek. Manusia, dalam ruang ini, jatuh pada narasi tunggal—diri sendiri sebagai pusat, liyan (yang lain/orang lain: istilah dalam bahasa jawa. Dalam filsafat bisa berarti konsep yang berlawanan dengan diri) sebagai ancaman. Inilah akar dari isolasi batin yang paling halus dan mematikan.
Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness menyebut ego sebagai “yang hadir dalam kehadiran orang lain”, namun juga sebagai ancaman: karena orang lain membuat kita merasa diawasi. Maka kita membangun benteng ego untuk menjaga citra, dan dalam proses itu kehilangan keaslian eksistensi.
Manusia yang hidup dalam benteng keakuan tak lagi menjalin hubungan, melainkan sekadar bertransaksi. Orang lain bukan mitra dalam pertumbuhan, tetapi cermin retak tempat kita membentuk refleksi palsu demi mempertebal identitas yang rapuh. Ini menciptakan karakter semu, tak otentik.
Martin Buber dalam I and Thou membedakan dua relasi utama: “Aku-Kau” dan “Aku-Itu”. Relasi “Aku-Kau” mengakui keutuhan liyan sebagai pribadi, sementara “Aku-Itu” menjadikan orang lain sebagai objek. Solipsisme memaksa kita untuk hidup dalam pola “Aku-Itu”—relasi beku dan tak manusiawi.
Dalam konteks eksistensialisme, menjadi manusia bukanlah kondisi tetap, melainkan proses. Kierkegaard menyebutnya sebagai “lompatan iman”—keputusan berani untuk menghadapi ketidakpastian eksistensi. Tanpa lompatan itu, kita hanya tinggal dalam kemungkinan, tanpa keberanian untuk menjadi.
Keberanian menghadapi eksistensi dimulai dari kesediaan untuk keluar dari pusat keakuan. Hal ini ditegaskan oleh Rollo May dalam The Courage to Create, bahwa kreativitas—sebagai bentuk tertinggi dari eksistensi—hanya muncul saat seseorang mampu membuka diri pada dunia dan risiko menjadi.
Eksistensi yang otentik menuntut perjumpaan dengan absurditas. Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menyatakan bahwa hidup itu absurd, dan satu-satunya jawaban adalah pemberontakan batin: terus hidup, terus sadar, terus menolak penyerahan diri pada kehampaan. Ini bentuk perlawanan.
Namun banyak manusia, ketimbang menghadapi absurditas, memilih kenyamanan semu dari keakuan. Mereka membangun dunia kecil yang terkontrol, hanya memelihara ide, orang, dan kebiasaan yang menegaskan dirinya sendiri. Dunia menjadi sempit, dan karakter tak pernah berkembang lebih jauh.
Dalam psikologi eksistensial, Viktor Frankl menekankan pentingnya makna sebagai penopang eksistensi. Dalam Man’s Search for Meaning, ia menulis: “Manusia tidak semata mencari kebahagiaan, tetapi makna dalam penderitaan.” Makna hanya muncul saat kita berjumpa dengan dunia luar, dengan yang lain.
Karakter, dengan demikian, dibentuk bukan dalam isolasi melainkan dalam interaksi. Di sinilah pentingnya dialog, empati, dan keterbukaan. Karakter manusia yang matang adalah ia yang mampu melihat liyan bukan sebagai musuh atau cermin, tapi sebagai mitra dalam penjelajahan hidup bersama.
Dalam studi psikologi perkembangan oleh Erik Erikson, tahap-tahap kepribadian manusia dibentuk melalui tantangan relasional. Salah satunya adalah tahap “intimacy vs isolation”, di mana seseorang harus belajar mencintai tanpa kehilangan dirinya. Ini fondasi dari kepribadian dewasa.
Ketika seseorang gagal melewati tahap ini, yang muncul adalah ego yang defensif. Ia mencintai bukan karena memberi, tapi karena ingin mengisi kekosongan batin. Ia membangun relasi bukan sebagai jalan pertumbuhan, tapi sebagai tempat persembunyian dari ketakutan eksistensial yang belum dihadapi.
Di dunia modern, gejala solipsisme semakin diperparah oleh teknologi. Dalam bukunya The Shallows (2010), Nicholas Carr menguraikan bagaimana internet mengkondisikan kita menjadi makhluk yang terbiasa hidup dalam ruang gema. Kita hanya melihat, membaca, dan mendengar yang sesuai dengan ego kita.
Algoritma media sosial menciptakan ilusi kesatuan, padahal yang terjadi adalah penguatan keakuan. Kita merasa dikelilingi oleh mereka yang sepaham, sevisi, dan setuju dengan kita. Ketika bertemu pandangan lain, kita merasa diserang. Reaksi pertama bukan memahami, tetapi menutup diri.
Fenomena ini memunculkan apa yang disebut Sherry Turkle dalam Alone Together (2011): keterasingan dalam konektivitas. Kita lebih banyak terhubung tapi kurang mengalami perjumpaan. Kita sering berbicara, tapi tak benar-benar mendengarkan. Ini adalah bentuk solipsisme sosial yang menyamar.
Menghadapi tantangan ini, langkah pertama adalah menyadari keterbatasan diri. Bahwa "Aku" bukanlah pusat dari segalanya. Bahwa kehadiran orang lain, betapapun berbeda, adalah peluang untuk memperluas cakrawala eksistensial. Kita hanya bertumbuh sejauh kita bersedia bertemu dengan yang lain.
Penting pula mengembangkan sikap humility, atau kerendahan hati eksistensial. Dalam riset oleh Worthington et al. (2017), ditemukan bahwa kerendahan hati berkorelasi positif dengan kesehatan mental, hubungan sosial yang sehat, dan kepuasan hidup. Ego yang kuat justru tumbuh dari sikap terbuka.
Karakter yang otentik bukanlah yang tanpa cacat, tetapi yang mengenal keterbatasannya dan bersedia terus berubah. Dalam konteks ini, Carl Jung menyebut bahwa individu sejati harus berani bertemu dengan “bayangannya” sendiri—yakni sisi gelap dari dirinya yang selama ini ditekan atau dihindari.
Proses individuasi ala Jung menuntut kita jujur melihat ke dalam, lalu melangkah keluar. Kita tidak bisa menjadi pribadi yang utuh jika hanya menatap cahaya dan menghindari gelap. Justru dalam kegelapan itu terdapat kekuatan, jika kita berani mengakuinya, mengolahnya, dan menjadikannya bagian kita.
Sebagaimana air dan minyak yang berbeda sifat, manusia juga beragam dalam latar, nilai, dan pengalaman. Namun seperti dalam kimia, dengan proses tertentu, air dan minyak bisa saling mempengaruhi—bahkan bersatu dalam bentuk baru. Begitu pula eksistensi manusia: ia bisa melampaui dirinya.
Solusi terhadap solipsisme bukanlah penghapusan ego, melainkan penghalusan. Ego diperlukan untuk identitas, tapi bukan untuk mendominasi. Dalam The Road to Character, David Brooks menulis bahwa karakter kuat lahir bukan dari ambisi, melainkan dari kapasitas untuk tunduk pada nilai-nilai luhur.
Maka, membangun karakter berarti bersedia menyelami pengalaman liyan. Bukan sekadar membaca buku, tetapi membaca kehidupan orang lain dengan empati. Bukan sekadar mendengar, tetapi mendengarkan. Bukan sekadar tahu, tetapi memahami. Dari sinilah keotentikan muncul dan eksistensi menjadi kaya.
Eksistensialisme menuntut kita untuk menjadi subjek aktif dalam kehidupan. Namun ia juga mengingatkan bahwa kita tak bisa hidup sepenuhnya sendirian. Dalam setiap pilihan, setiap luka, setiap keberanian, kita membentuk diri kita—tapi juga membiarkan dunia membentuk kita kembali.
Pada akhirnya, menjadi manusia adalah proyek yang tak pernah selesai. Kita tidak pernah sepenuhnya "jadi", tapi selalu "dalam proses menjadi". Di sinilah letak keindahannya. Eksistensi bukan tentang mencapai kesempurnaan, tapi tentang kesediaan untuk terus berjalan, dan bertemu liyan di jalan itu.
Komentar
الانضمام إلى المحادثة