Aras Atas
Metafisika: Menyelami Inti Realitas di Balik Segala yang Tampak
Metafisika: Menyelami Inti Realitas di Balik Segala yang Tampak
Metafisika adalah jantung filsafat. Ia membedah realitas terdalam, dari wujud, keberadaan, hingga hakikat segala hal.

Metafisika Bor Pengetahuan Yang Menggali ke Dalam Hakikat

Apa Itu Metafisika?

Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yakni meta berarti "setelah" dan physika berarti "alam/fisika". Istilah ini muncul saat karya Aristoteles disusun, dan bagian tentang hal-hal paling dasar dalam filsafat ditempatkan setelah buku fisika, sehingga disebut ta meta ta physika. Sejak saat itu, metafisika diartikan sebagai kajian tentang realitas yang melampaui dunia fisik.

Secara istilah, metafisika berarti cabang filsafat yang membahas tentang hal-hal mendasar dari kenyataan: keberadaan, esensi, sebab pertama, dan apa yang disebut “ada”. Ia tidak meneliti benda secara konkret, melainkan keberadaannya. Misalnya, bukan "apa itu pohon", melainkan "apa itu keberadaan dari segala sesuatu, termasuk pohon itu sendiri?"

Dalam praktiknya, metafisika tidak hanya bicara soal teori kosong. Ia mengusik inti eksistensi kita. Mengapa kita ada? Apa itu realitas sejati? Apakah semua yang ada bisa dijelaskan oleh sebab-akibat saja? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan metafisika sebagai akar yang menyokong semua cabang pemikiran filsafat lainnya.

Apa Saja yang Diomongin Metafisika?

Metafisika memiliki ruang lingkup yang luas dan dalam, yang umumnya dibagi menjadi tiga fokus utama: ontologi, kosmologi, dan teologi filosofis. Ontologi adalah studi tentang keberadaan itu sendiri, yang mengkaji apa makna dari “ada”, apakah yang benar-benar bisa disebut nyata, dan bagaimana sesuatu memiliki identitas yang tetap atau berubah.

Dalam wilayah kosmologi metafisis, filsafat menyelidiki alam semesta dari sudut yang lebih radikal dibanding sains. Ia mempertanyakan asal mula semesta, apakah ruang dan waktu itu hakiki atau hanya hasil persepsi, serta bagaimana seluruh sistem kosmik bisa eksis dari ketiadaan.

Sementara itu, teologi dalam metafisika tidak berbicara semata soal agama, melainkan keberadaan realitas tertinggi—yang oleh banyak tradisi disebut Tuhan. Apakah ada sebab utama yang tak disebabkan? Apakah eksistensi harus dimulai dari suatu wujud absolut yang tidak tergantung pada apa pun?

Pertanyaan tentang sebab utama yang tak disebabkan pertama kali dijawab serius oleh Aristoteles melalui konsep “Penggerak Tak Tergerakkan” (Unmoved Mover). Ia berargumen bahwa segala sesuatu yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu lainnya.

Namun, rantai ini tak bisa berjalan tanpa ujung, sebab rantai tak berujung akan membuat pergerakan tak pernah benar-benar dimulai. Maka harus ada satu entitas yang menyebabkan gerak, tetapi tidak digerakkan oleh apa pun—itulah Penggerak Pertama, penyebab dari semua sebab yang ada.

Thomas Aquinas kemudian memperluas ini dalam argumen kosmologisnya. Ia menyatakan bahwa semua yang ada pasti memiliki sebab. Tapi, tak mungkin sebab-sebab itu berjalan mundur tanpa henti. Jadi, harus ada sebab awal yang tidak disebabkan oleh apa pun. Dari penalaran ini, filsafat Barat menyimpulkan: ya, harus ada sebab utama yang tak disebabkan. Bukan karena kita bisa melihatnya langsung, tapi karena logika menuntut adanya titik awal mutlak sebagai landasan eksistensi semua hal lain.

Tak berhenti di situ, metafisika juga mencakup perdebatan tentang struktur realitas. Misalnya, apakah dunia ini terdiri dari satu substansi (monisme), dua substansi (dualisme), atau banyak entitas berbeda (pluralisme)? Semua pendekatan ini memberikan warna yang berbeda dalam memahami kenyataan yang kita alami setiap hari.

Dengan ruang lingkup yang begitu kaya, metafisika menyentuh sisi terdalam dari hidup kita. Saat kita bertanya tentang identitas diri, takdir, kebebasan, dan hubungan kita dengan alam semesta, sebenarnya kita sedang berada dalam wilayah metafisika, bahkan tanpa menyadarinya.

Flashback Sejarah Metafisika: Dari Yunani ke Zaman Modern

Akar metafisika tertanam kuat di tanah filsafat Yunani Kuno. Tokoh seperti Parmenides dan Herakleitos memperdebatkan soal perubahan dan ketetapan. Apakah segala sesuatu terus berubah atau justru tak berubah sama sekali? Dari sini lahir benih pertama gagasan tentang “wujud” sebagai inti dari realitas.

Plato lalu melanjutkan warisan itu dengan memperkenalkan dunia ide—sebuah realitas non-fisik yang abadi dan sempurna. Baginya, segala yang tampak hanyalah bayangan dari dunia ideal. Aristoteles, murid Plato, tak sepakat dan lebih membumi. Ia menyusun teori tentang substansi, bentuk, dan materi, serta memperkenalkan gagasan tentang “Penggerak Tak Tergerakkan”—sebab pertama dari segala keberadaan.

Memasuki era abad pertengahan, metafisika difokuskan pada sintesis antara filsafat dan teologi. Tokoh seperti Thomas Aquinas dan Al-Farabi mencoba membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional. Metafisika digunakan untuk menyelami realitas spiritual, tetapi tetap dengan metode filosofis yang logis.

Revolusi modern membawa arus baru yang mengguncang metafisika. Descartes memisahkan pikiran dan tubuh, memunculkan dualisme tajam yang masih diperdebatkan hingga kini. Di sisi lain, Hume menyerang fondasi metafisika dengan skeptisisme empirisnya, sementara Kant mencoba mendamaikan rasio dan pengalaman lewat batas-batas rasionalitas manusia.

Abad ke-20 membuka pintu pada pendekatan eksistensialis. Heidegger, misalnya, tak lagi menanyakan “apa itu ada?”, tapi “apa artinya kita berada di dunia?” Sartre menggabungkan itu dengan kebebasan radikal. Mereka membawa metafisika dari langit ide ke tanah kenyataan manusia sehari-hari.

Kini, metafisika berdialog aktif dengan sains, psikologi, dan bahkan teknologi. Filsafat pikiran, kecerdasan buatan, dan fisika kuantum menghidupkan kembali pertanyaan klasik metafisis: apakah pikiran bisa direduksi jadi materi? Apakah realitas itu deterministik atau terbuka? Sejarah metafisika terus berlanjut, mengikuti irama zaman.

Metafisika & Semua Aliran Filsafat: Saling Sikut atau Saling Peluk?

Metafisika menjadi medan utama benturan antara realisme dan idealisme. Realisme meyakini bahwa realitas eksternal itu benar-benar ada dan dapat diketahui, sementara idealisme melihat kenyataan sebagai ciptaan atau hasil pikiran. Kedua aliran ini membawa metafisika ke dua arah yang saling berseberangan, namun tetap saling memperkaya.

Di sisi lain, eksistensialisme mencoba memotong jalan dengan menolak esensi bawaan. Sartre menyatakan bahwa eksistensi manusia datang lebih dulu, baru kemudian kita membentuk esensi melalui pilihan. Metafisika pun dipaksa turun dari menara gading menuju realitas hidup yang konkret dan absurd.

Kaum positivis memberikan tantangan keras bagi metafisika dengan menyatakan bahwa hanya yang bisa dibuktikan secara empiris yang bermakna. Meski demikian, serangan ini justru memicu berkembangnya filsafat analitik yang lebih ketat dalam menyusun argumen metafisis, terutama dalam ranah bahasa dan logika.

Dalam tradisi Islam, metafisika mendapatkan nafas yang berbeda. Ibnu Sina berbicara tentang hierarki wujud, sedangkan Mulla Sadra memperkenalkan teori ashalat al-wujud—bahwa eksistensi adalah yang paling nyata, bukan esensi. Ini adalah metafisika yang bersumber dari wahyu sekaligus pemikiran rasional.

Di Timur, metafisika tidak dibangun lewat logika sistematis, melainkan melalui intuisi dan pengalaman. Filsafat India dengan konsep Brahman dan filsafat Cina melalui Tao menampilkan pendekatan metafisis yang lebih mistik, tetapi tetap dalam pencarian makna terdalam dari kenyataan.

Alih-alih menyingkirkan satu sama lain, kini berbagai aliran filsafat belajar berdialog dalam kerangka metafisika global. Perbedaan pendekatan bukan lagi penghalang, melainkan jendela baru untuk melihat kenyataan dari berbagai arah. Metafisika menjadi lebih plural, lebih terbuka, dan jauh lebih hidup.

Masih Perlu Nggak Sih, Metafisika?

Di tengah dunia yang serba cepat dan dangkal, metafisika menjadi ruang sunyi untuk merenung lebih dalam. Ia tidak memberi jawaban instan, tapi menyediakan kerangka untuk mempertanyakan kembali dasar dari semua yang kita anggap biasa. Dalam hal ini, metafisika bukan sekadar ilmu, tapi cara hidup.

Kehadirannya sangat penting justru karena ia mengusik kenyamanan berpikir. Metafisika memaksa kita untuk meninjau ulang apa itu keberadaan, siapa kita, dan bagaimana kita berhubungan dengan yang lain. Tanpa pertanyaan metafisis, kehidupan mudah berubah menjadi rutinitas kosong.

Maka, selama manusia masih bertanya tentang "mengapa" dan "untuk apa", metafisika akan selalu relevan. Ia bukan warisan masa lalu, tapi bekal masa depan untuk tetap waras, sadar, dan bermakna di tengah dunia yang semakin kompleks.|aras atas

Komentar

Join the conversation

Aras Atas