

Bukan Lagi Tentang Teman: Media Sosial Kini Dikuasai Algoritma
Dulu, media sosial adalah tempat kita berbagi cerita dan melihat kabar dari teman atau keluarga. Namun kini, peta digital telah bergeser. CEO Meta, Mark Zuckerberg, secara terbuka menyatakan bahwa masa di mana media sosial menjadi ruang interaksi antar-teman sudah mulai pudar. Alih-alih melihat postingan orang-orang yang kita kenal, pengguna sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan konten dari kreator yang bahkan belum pernah mereka temui.
Data dari Meta menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% konten yang tampil di feed Facebook berasal dari teman pengguna. Di Instagram, angkanya lebih kecil lagi, sekitar 10%. Sisa kontennya disusun oleh algoritma yang mempelajari kebiasaan kita: apa yang kita tonton, simpan, atau sukai. Itulah sebabnya feed kita kini dipenuhi video lucu, tips cepat, hingga tren viral yang berasal dari akun-akun publik, bukan teman lama.
Perubahan besar ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh TikTok yang begitu kuat dalam mendefinisikan ulang pengalaman bermedia sosial. Tanpa perlu mengikuti siapa pun, pengguna bisa menikmati konten yang seolah-olah disesuaikan dengan minat pribadi. TikTok sukses menjadikan interest-based content sebagai standar baru. Meta pun akhirnya mengikuti arah serupa, terutama lewat fitur Reels yang kini menjadi andalan Facebook dan Instagram dalam menarik minat pengguna.
Zuckerberg mengakui bahwa Meta sempat meremehkan pendekatan TikTok. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa bentuk interaksi sosial telah berubah. Bukan lagi dalam bentuk komentar panjang atau unggahan status, melainkan melalui bentuk-bentuk partisipasi baru: berbagi video ke pesan pribadi, mengikuti tren, atau sekadar menonton dan bereaksi.
Kini, lebih dari 50% konten yang ditampilkan di Instagram direkomendasikan oleh kecerdasan buatan. Di Facebook, jumlahnya sekitar 30% dan terus meningkat. Dengan algoritma yang terus mempelajari perilaku pengguna, Meta bisa menyajikan konten yang makin relevan secara personal. Pengguna tak lagi mencari informasi; informasi yang justru “mencari” pengguna.
Menurut Zuckerberg, arah media sosial ke depan bukan lagi soal siapa yang kita kenal, tetapi apa yang bisa menarik perhatian kita. Konsep content discovery kini menjadi tulang punggung, menggantikan peran pertemanan sebagai penggerak utama. Data internal Meta bahkan menunjukkan bahwa lebih dari 40% waktu pengguna di Instagram kini dihabiskan hanya untuk menonton Reels. Itu berarti, keterlibatan emosional dengan teman semakin digantikan oleh daya tarik visual dan algoritmis.
Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: ke mana peran sosial dari media sosial? Jika sebagian besar konten berasal dari akun tak dikenal, bukan tidak mungkin media sosial berubah menjadi platform hiburan murni—bukan ruang interaksi personal seperti sebelumnya.
Pergeseran peran media sosial dari ruang komunikasi menjadi wahana hiburan memang menciptakan efisiensi dalam menarik perhatian. Algoritma dengan cepat mengenali pola ketertarikan pengguna, lalu menyajikan konten yang dianggap paling relevan. Di satu sisi, pendekatan ini sangat efektif dalam mempertahankan durasi penggunaan. Namun di sisi lain, koneksi emosional antar pengguna mulai kehilangan tempat.
Kini, semakin jarang orang membagikan momen pribadi di media sosial. Aktivitas seperti menulis status, membagikan foto keluarga, atau sekadar curhat ringan mulai tergeser oleh konten-konten viral dari kreator profesional. Pengguna cenderung menjadi penonton pasif, bukan lagi pelaku aktif dalam ekosistem digital.
Pertanyaan pun mengemuka: apakah media sosial masih bisa disebut "sosial" jika relasi personal tidak lagi menjadi prioritas? Apakah keterhubungan yang kita rasakan benar-benar bermakna, atau hanya ilusi yang dibentuk oleh algoritma pintar?
Meta sendiri berargumen bahwa perubahan ini terjadi karena keinginan pengguna. Namun, mereka juga memikul tanggung jawab etis untuk menjaga agar transformasi ini tidak menjauhkan manusia dari esensi interaksi. Tanpa keseimbangan yang sehat, media sosial bisa menjadi tempat yang ramai secara digital, namun hampa secara sosial.
Singkatnya, kita kini berada di titik balik sejarah media digital. Media sosial tidak lagi hanya soal berbagi momen, tapi soal konten apa yang membuat kita bertahan lebih lama di layar. Hubungan personal perlahan digantikan oleh daya tarik algoritma. Ini bukan lagi soal siapa yang kita kenal, tapi tentang apa yang bisa membuat kita terus menggulir tanpa henti.|a.a
Komentar
Join the conversation