

Terlalu Percaya pada AI? Sebuah Catatan Kritis dari Dalam Panggung Inovasi
Kurator: Aras Atas
Pada 2023, AI menjadi panggung utama dalam dinamika teknologi global. Dalam ritme dunia yang makin cepat dan digital, hadirnya ChatGPT, Gemini, DeepSeek, dan sederet model AI lain membawa perubahan besar dalam cara manusia bertanya, mencari tahu, bahkan mengambil keputusan. Seolah menjadi penasihat segala hal, AI menempati posisi yang dulu hanya diisi manusia: tempat bergantung ketika jawaban dibutuhkan cepat dan meyakinkan.
Namun, di tengah antusiasme itu, muncul suara dari pusat panggung AI itu sendiri. Sam Altman, sang CEO OpenAI, menyuarakan keheranan. Ia tak sedang menyombongkan produknya, justru sebaliknya—mengutarakan kekhawatirannya. “Orang-orang terlalu percaya pada ChatGPT,” katanya. Ia menyebut fenomena ini sebagai sesuatu yang menarik sekaligus mengkhawatirkan, sebab AI belumlah sempurna. Masih ada halusinasi—istilah teknis yang merujuk pada kecenderungan AI menghasilkan jawaban keliru namun terdengar meyakinkan.
Fenomena ini bukan sekadar kemungkinan. Halusinasi dalam AI bukan mitos, melainkan kenyataan yang datang bersamaan dengan kemajuan. Minta AI menjelaskan istilah yang tak pernah ada, dan besar kemungkinan ia akan menciptakan definisi palsu yang terdengar cerdas. Semuanya demi satu tujuan: memuaskan pengguna. Namun, seperti senjata bermata dua, kemampuan “generatif” ini menjadi sekaligus kekuatan dan kelemahan—mencipta, tapi kadang mencipta yang salah.
Sementara dunia terus memuji kecanggihan model bahasa besar (LLM), riset dari MIT Media Lab justru memberikan peringatan yang cukup serius. Dalam studi berjudul Your Brain on ChatGPT, para peneliti mengamati dampak pemakaian AI terhadap kerja otak manusia, baik secara linguistik, neurologis, maupun perilaku. Hasilnya? Tidak semua cerita AI berujung gemilang.
Tiga kelompok dilibatkan dalam eksperimen. Kelompok pertama menulis esai dengan bantuan ChatGPT. Kelompok kedua mengandalkan pencarian Google. Kelompok ketiga menulis tanpa bantuan teknologi sama sekali. Dalam sesi keempat, eksperimen dibalik: kelompok pertama harus menulis tanpa bantuan, sementara kelompok ketiga diizinkan menggunakan ChatGPT.
Hasil pengukuran konektivitas pita alfa otak—indikator penting untuk memori dan pemrosesan bahasa—menunjukkan temuan mengejutkan. Mereka yang sejak awal terbiasa dengan bantuan AI mengalami penurunan tajam. Artinya, ada konsekuensi neurokognitif dari ketergantungan terhadap AI. Mesin mungkin menyederhanakan proses berpikir, tapi juga bisa melumpuhkan ketajamannya.
Fenomena ini seperti melihat pemain bola yang terlalu sering bergantung pada GPS di lapangan. Ia tahu ke mana harus lari, tahu siapa yang harus diberi bola, tapi kehilangan naluri untuk membaca permainan itu sendiri. ChatGPT bisa menulis, menjawab, dan menjelaskan. Tapi dalam proses itu, otak manusia kehilangan kesempatan untuk berjuang memahami, menyusun, dan merekonstruksi sendiri.
Momen ketika Sam Altman berbicara bukanlah sekadar pernyataan biasa. Itu adalah bentuk peringatan dari pencipta kepada para pemakai. Sebab yang paling memahami batas AI adalah mereka yang membangunnya dari nol. Bahwa AI bisa hebat, tentu. Tapi mempercayainya sepenuhnya? Itulah jebakan sesungguhnya.
Kita hidup di zaman di mana kecepatan informasi lebih dihargai daripada kedalaman pemahaman. Maka tak heran jika AI cepat naik takhta sebagai “penjawab utama”. Tapi dalam segala kekaguman itu, kita perlu bertanya: apakah kita masih berpikir, atau hanya menerima? Apakah kita masih mencerna, atau hanya mengulang?
Dalam konteks itulah, kehadiran AI harus dipandang sebagai alat, bukan pengganti. Ia membantu manusia, bukan menggantikan manusia. Ia mempercepat proses, tapi tak seharusnya menumpulkan nalar.
Karena pada akhirnya, seperti Messi yang mencetak 91 gol bukan karena mesin, tapi karena kerja keras dan sistem yang mendukungnya—AI pun tidak akan menjadi legenda tanpa manusia yang tetap berpikir. AI hanyalah alat. Hebat, ya. Tapi tetap alat. Dan alat, betapapun canggihnya, tidak layak dipuja seperti dewa.
Komentar
Join the conversation