Aras Atas
Inggris Indonesia Jepang Arab

Donasi untuk Pengembangan Literasi

Bagikan donasi Anda untuk mendukung pengembangan Pustaka Buku dan Riset Literasi Aras Atas.

QR Code Neobank
Orang Cerdas Pantang Ngeluhkan 5 Hal Ini: Kajian Menurut Psikologi
Orang Cerdas Pantang Ngeluhkan 5 Hal Ini: Kajian Menurut Psikologi

Orang Cerdas Tidak Pernah Mengeluh Tentang 5 Hal Ini Menurut Psikologi

Aras Atas — Psikologi | Ketika kita bicara soal orang “cerdas”, banyak orang langsung menghubungkannya dengan nilai tinggi, IQ besar, atau kemampuan logika yang di atas rata-rata. Padahal kecerdasan tidak hanya berhenti pada hal itu saja. Dalam psikologi modern, kecerdasan juga mencakup kemampuan emosional, sosial, dan cara seseorang menata pikirannya saat menghadapi masalah. Orang yang benar-benar matang secara mental biasanya punya satu ciri unik: mereka jarang sekali mengeluh soal hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu berguna kalau diributkan.

Mengeluh itu manusiawi, tapi kalau terlalu sering justru bikin energi mental terkuras. Nah, ada pola menarik yang bisa ditemukan pada orang-orang yang lebih bijak dalam mengelola hidupnya. Mereka tidak membuang waktu untuk mengeluhkan hal-hal tertentu, bukan karena hidup mereka tanpa masalah, melainkan karena mereka tahu ada cara lebih sehat untuk merespons situasi. Berikut adalah lima hal yang di rangkum oleh Aras Atas secara umumnya tidak jadi bahan keluhan orang dengan pola pikir cerdas menurut kacamata psikologi.

1. Pencapaian Orang Lain

Orang yang cerdas tidak akan sibuk mengeluh atau merasa down hanya karena melihat kesuksesan orang lain. Dalam teori psikologi sosial, ada istilah social comparison, yaitu kecenderungan manusia membandingkan dirinya dengan orang lain. Jika perbandingan itu berlebihan, hasilnya bisa membuat kita minder, cemas, bahkan iri hati. Namun, orang yang sehat mentalnya memahami bahwa hidup setiap orang punya jalur berbeda dan pencapaian tidak bisa diukur dengan satu standar yang sama.

Alih-alih melihat keberhasilan orang lain sebagai ancaman, mereka memaknainya sebagai inspirasi. Psikolog Carol Dweck pernah menjelaskan bahwa orang dengan growth mindset akan lebih mudah mengapresiasi perjalanan orang lain tanpa merasa dirinya gagal. Ini karena mereka tahu setiap pencapaian adalah hasil kerja keras dan proses panjang, bukan sekadar keberuntungan instan.

Sikap ini membuat hidup mereka lebih ringan. Bayangkan, kalau tiap kali teman berhasil lalu kita mengeluh, energi kita akan habis untuk rasa iri. Orang yang cerdas menyalurkan energi itu untuk membangun dirinya sendiri. Mereka tidak sibuk mencari alasan kenapa mereka belum sampai ke titik tertentu, melainkan fokus memperbaiki langkah-langkah kecil yang bisa mereka kontrol.

Ketika ada teman yang berhasil naik jabatan atau berhasil bikin bisnis sukses, orang semacam ini biasanya bisa memberi ucapan selamat dengan tulus. Mereka sadar bahwa menghargai pencapaian orang lain bukan berarti merendahkan diri sendiri. Justru itu tanda bahwa mereka cukup percaya diri dengan jalannya masing-masing.

Secara ilmiah, hal ini berkaitan dengan self-esteem yang sehat. Individu dengan harga diri yang stabil tidak gampang merasa terancam oleh keberhasilan orang lain. Sebaliknya, mereka merasa termotivasi untuk mencari potensi yang masih bisa dikembangkan dalam diri. Dengan begitu, rasa iri yang sering jadi sumber keluhan bisa diubah jadi dorongan untuk belajar.

Jadi, bisa dibilang orang cerdas itu jarang terlihat “mengomel” soal keberhasilan orang lain. Mereka punya kacamata yang lebih luas: sukses orang lain bukan berarti gagal untuk dirinya. Dunia ini bukan lomba cepat-cepatan yang cuma ada satu pemenang, tapi perjalanan panjang di mana setiap orang punya garis finish masing-masing.

2. Kekurangan Diri Sendiri

Keluhan berikutnya yang jarang keluar dari mulut orang cerdas adalah tentang kekurangan diri sendiri. Tentu saja, mereka tetap bisa sadar dengan keterbatasan yang ada. Bedanya, kesadaran itu tidak mereka jadikan alasan untuk terus-menerus merendahkan diri. Dalam psikologi positif ada konsep self-compassion, yaitu sikap berbelas kasih pada diri sendiri. Orang yang punya kebiasaan ini lebih memilih menerima kekurangan dengan tenang, lalu mencari cara untuk memperbaikinya secara bertahap.

Berbeda dengan orang yang terjebak dalam fixed mindset, yang menganggap kelemahan adalah hal permanen, mereka lebih dekat dengan growth mindset. Dengan pola pikir ini, kekurangan bukan dilihat sebagai kelemahan abadi, melainkan kesempatan untuk tumbuh. Misalnya, kalau mereka tidak jago presentasi, mereka akan bilang, “Oke, presentasiku masih kurang, tapi aku bisa latihan supaya lebih baik.” Ini berbeda jauh dengan keluhan “Aku nggak bakat ngomong di depan orang.”

Orang cerdas memahami bahwa terlalu sering mengeluh soal kekurangan diri hanya akan mengurangi rasa percaya diri. Padahal, kepercayaan diri adalah modal penting dalam setiap interaksi. Mereka cenderung menekankan pada proses belajar, bukan hasil instan. Dengan begitu, mereka lebih tahan banting menghadapi tantangan.

Secara ilmiah, hal ini berkaitan dengan konsep self-efficacy yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Orang dengan self-efficacy tinggi tidak sibuk mengeluhkan keterbatasan, karena mereka percaya masih ada cara untuk memperbaikinya.

Itulah sebabnya, dibanding terjebak dalam narasi “aku kurang ini, aku nggak bisa itu”, mereka lebih suka mencari solusi nyata. Mereka tahu bahwa mengeluh tidak akan mengubah apa-apa, tapi usaha kecil yang konsisten bisa membawa perubahan signifikan.

Dengan pola pikir seperti ini, orang cerdas tetap bisa realistis tapi optimis. Mereka sadar bahwa tidak ada manusia sempurna, tapi bukan berarti harus pasrah dengan kekurangan. Bagi mereka, mengeluh hanya buang waktu, sementara belajar adalah investasi jangka panjang.

3. Tugas Sehari-hari

Salah satu hal yang sering bikin orang kesal adalah rutinitas: mencuci piring, merapikan rumah, mengurus pekerjaan kecil yang berulang. Tapi orang yang cerdas biasanya tidak terlalu banyak mengeluh soal hal ini. Bukan karena mereka suka pekerjaan remeh, tapi karena mereka sadar tugas-tugas kecil adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari.

Dalam psikologi perilaku, kegiatan sederhana justru bisa memberikan struktur dan stabilitas dalam hidup. Melakukan pekerjaan rutin membuat otak merasa ada hal yang bisa dikendalikan, sehingga membantu menjaga keseimbangan emosi. Banyak penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas ringan seperti membersihkan rumah bisa memberikan rasa lega karena menciptakan lingkungan yang lebih rapi dan teratur.

Orang cerdas melihat rutinitas bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari tanggung jawab. Mereka tahu, kalau terus mengeluh soal hal kecil, maka energi mental akan terkuras habis. Padahal, energi itu bisa dipakai untuk hal yang lebih penting. Dengan cara pandang ini, tugas sehari-hari jadi terasa lebih ringan untuk dijalani.

Contohnya, ketika mereka harus mencuci pakaian atau menyapu, mereka tidak menunda dengan alasan “malas banget”. Mereka mungkin merasa lelah, tapi tidak menjadikan itu alasan untuk berdrama. Justru kadang mereka bisa menikmati momen tersebut sebagai waktu untuk merenung atau mendengarkan musik.

Secara ilmiah, kebiasaan ini sejalan dengan konsep behavioral activation, yaitu strategi psikologi untuk meningkatkan suasana hati dengan melakukan aktivitas sederhana. Ketika kita bertindak, meskipun kecil, otak memberi sinyal positif yang membantu mengurangi rasa malas dan stres. Orang cerdas tahu manfaat ini, meskipun mungkin tidak menyebutnya secara teoritis.

Hasil akhirnya, mereka bisa lebih tenang menghadapi kehidupan sehari-hari. Mereka tidak menganggap tugas rumah sebagai kutukan, tapi sebagai bagian normal dari tanggung jawab yang kalau dilakukan dengan benar justru bikin hidup terasa lebih tertata.

4. Hal-hal di Luar Kendali

Salah satu kebiasaan orang cerdas adalah tidak terlalu banyak mengeluh soal hal-hal yang jelas-jelas di luar kendali mereka. Contoh paling gampang adalah kemacetan, cuaca buruk, atau antrean panjang. Keluhan mungkin keluar sesekali, tapi mereka tidak membiarkannya menjadi pusat perhatian yang menguras energi.

Dalam psikologi ada konsep locus of control. Orang dengan internal locus fokus pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan, sementara orang dengan external locus cenderung menyalahkan faktor luar. Orang yang lebih matang biasanya menempatkan diri di tengah: mereka tahu mana yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak.

Ketika terjebak macet, misalnya, mereka mungkin kesal sebentar. Tapi setelah itu, mereka memilih memanfaatkan waktu untuk mendengarkan podcast, audiobook, atau sekadar menikmati musik. Mereka sadar bahwa mengeluh tidak akan membuat mobil di depan hilang, jadi lebih baik mencari cara untuk tetap produktif atau tenang.

Secara ilmiah, perilaku ini membantu mengurangi stres kronis. Keluhan yang terus-menerus membuat hormon stres seperti kortisol tetap tinggi, yang dalam jangka panjang bisa memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Dengan belajar menerima hal di luar kendali, orang cerdas bisa menjaga kondisi tubuh tetap lebih stabil.

Sikap ini juga berkaitan dengan konsep coping strategies, atau cara seseorang mengatasi masalah. Orang yang resilien cenderung memilih problem-focused coping untuk hal yang bisa mereka ubah, dan emotion-focused coping untuk hal yang tidak bisa diubah. Mengeluh tidak termasuk strategi efektif dalam kedua kategori ini.

Akhirnya, mereka punya gaya hidup yang lebih adaptif. Mereka tidak membiarkan hal-hal eksternal mendikte suasana hati sepanjang hari. Dengan begitu, meskipun situasi tidak ideal, mereka tetap bisa menjaga kendali atas reaksi diri mereka sendiri.

5. Tantangan Tak Terduga

Terakhir, orang yang cerdas tidak menjadikan tantangan tak terduga sebagai bahan keluhan panjang. Hidup penuh kejutan, dan sering kali kejutan itu tidak menyenangkan. Tapi daripada terjebak dalam narasi “kenapa ini harus terjadi padaku?”, mereka lebih memilih mencari cara untuk menghadapi situasi dengan kepala tegak.

Dalam psikologi, hal ini berkaitan dengan konsep resiliensi atau ketahanan mental. Individu yang resilien tidak melihat hambatan sebagai akhir dari segalanya. Mereka menganggap tantangan sebagai bagian dari proses belajar. Bahkan, ada istilah post-traumatic growth, yaitu kondisi ketika seseorang justru tumbuh lebih kuat setelah menghadapi kesulitan besar.

Ketika menghadapi kegagalan proyek, misalnya, mereka tidak berhenti pada rasa kecewa. Mereka memberi ruang untuk merasakan emosi, lalu mulai mencari solusi realistis. Dengan begitu, mereka bisa bangkit lebih cepat dibanding orang yang sibuk mengeluh.

Secara ilmiah, orang seperti ini biasanya punya pola pikir optimis adaptif. Mereka tidak buta terhadap realitas, tapi juga tidak terjebak dalam pesimisme. Bagi mereka, masalah adalah hal sementara, bukan label permanen untuk hidup.

Kebiasaan ini membuat mereka lebih tahan menghadapi tekanan. Mereka bisa menjaga energi mental tetap stabil karena tidak menghabiskannya untuk mengomel. Sebaliknya, mereka fokus pada tindakan konkret yang bisa membawa perubahan.

Pada akhirnya, orang yang cerdas tahu bahwa mengeluh tidak mengurangi beratnya masalah. Yang bisa mengubah keadaan hanyalah sikap dan tindakan. Dengan menyadari hal itu, mereka bisa menghadapi badai kehidupan dengan tenang tanpa kehilangan arah. |a.a

Komentar

Join the conversation

Aras Atas