Aras Atas
Inggris Indonesia Jepang Arab

Donasi untuk Pengembangan Literasi

Bagikan donasi Anda untuk mendukung pengembangan Pustaka Buku dan Riset Literasi Aras Atas.

QR Code Neobank
Mengapa Buku Self-Improvement Begitu Digemari Akhir-Akhir Ini?
Mengapa Buku Self-Improvement Begitu Digemari Akhir-Akhir Ini?

Belajar, Berkembang, Maju Setia Hari

Kurator: Aras Atas

Kita hidup di zaman di mana semua orang sedang berusaha “menjadi versi terbaik dirinya sendiri.” Coba buka media sosial—setiap hari ada saja kutipan motivasi, potongan video dari seminar, atau buku yang direkomendasikan tentang cara membangun kebiasaan, mengubah mindset, atau menemukan jati diri. Buku-buku seperti Atomic Habits karya James Clear, The Subtle Art of Not Giving a F karya Mark Manson, atau You Do You milik Fellexandro Ruby nyaris tak pernah absen di daftar bacaan para anak muda Indonesia. Fenomena ini bukan sekadar tren sementara. Ia adalah cerminan dari keresahan generasi yang sedang mencari arah, keseimbangan, dan makna hidup di tengah tekanan modernitas.

Menurut data Perpustakaan Nasional (2024), lebih dari 47% pembaca muda Indonesia dalam rentang usia 18–30 tahun memilih tema pengembangan diri sebagai bacaan utama mereka. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dibanding lima tahun lalu. Meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, stres kerja, dan pencarian identitas diri turut mendorong minat ini. Kita ingin lebih memahami diri, bukan sekadar bertahan hidup.

Mencari Diri di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Kehidupan modern membuat banyak orang kehilangan arah tanpa sadar. Pekerjaan, media sosial, dan standar kesuksesan yang berubah-ubah sering kali membuat kita merasa tertinggal. Buku-buku self-improvement lalu hadir sebagai pelampiasan, atau mungkin lebih tepatnya—penuntun. Di sanalah kita belajar bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari hal-hal kecil: satu kebiasaan baru, satu pola pikir yang berbeda, atau satu keberanian untuk berhenti membandingkan diri dengan orang lain.

Seperti kata Søren Kierkegaard, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Buku pengembangan diri mengajak kita melakukan keduanya sekaligus: memahami masa lalu dan memperbaikinya, agar langkah ke depan lebih sadar dan berani. Mungkin karena itulah banyak orang muda merasa cocok dengan tema ini. Ia memberi ruang untuk refleksi tanpa harus merasa lemah.

Dari Kebiasaan Kecil ke Perubahan Besar

Salah satu alasan mengapa buku pengembangan diri begitu mudah diterima adalah karena ia konkret. James Clear, misalnya, menjelaskan bagaimana perubahan kecil 1% setiap hari bisa melipatgandakan hasil dalam setahun. Konsep ini sederhana tapi revolusioner: perubahan bukan soal motivasi besar, tapi soal disiplin kecil yang terus diulang. Analogi yang menarik—seperti menanam pohon—sering dipakai. Kita tidak melihat pertumbuhannya setiap hari, tapi kita tahu bahwa akar sedang memperkuat diri di bawah tanah.

Secara ilmiah, hal ini didukung oleh riset dari European Journal of Social Psychology (Lally, 2009), yang menemukan bahwa rata-rata butuh 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Artinya, perubahan diri bukan soal niat semata, tapi soal konsistensi. Buku-buku self-improvement sering kali membantu pembacanya bertahan dalam fase tidak nyaman itu—fase ketika hasil belum terlihat, tapi perjuangan sudah terasa.

Antara Ilmu dan Emosi

Banyak yang menganggap buku pengembangan diri terlalu klise. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, sebagian besar buku itu sebenarnya berbasis pada psikologi dan neurosains modern. Konsep seperti growth mindset dari Carol Dweck, misalnya, telah terbukti meningkatkan performa akademik dan ketahanan mental seseorang. Ketika seseorang percaya bahwa kemampuan bisa berkembang, ia cenderung tidak mudah menyerah saat gagal. Di sinilah letak kekuatan buku-buku self-improvement: menggabungkan logika dan perasaan dalam satu bingkai reflektif.

Kita membaca bukan sekadar untuk mencari inspirasi, tapi untuk mempelajari cara kerja pikiran kita sendiri. Dan di tengah dunia yang serba cepat, kesadaran diri menjadi kemewahan baru. “Know thyself,” kata Socrates. Nasihat dua ribu tahun lalu itu kini terasa lebih relevan dari sebelumnya.

Dari Bacaan Menjadi Gerakan Hidup

Menariknya, tren membaca self-improvement di Indonesia kini mulai bergeser dari sekadar konsumsi pasif menjadi praktik aktif. Banyak anak muda mulai membuat jurnal harian, menulis refleksi di media sosial, bahkan mengadakan diskusi buku daring. Fenomena ini menunjukkan bahwa literasi bukan lagi sekadar aktivitas intelektual, tapi juga sosial. Ia menjadi cara untuk membangun komunitas, berbagi pengalaman, dan menguatkan diri bersama.

Data dari Google Trends menunjukkan bahwa pencarian kata “self-improvement” dan “healing” di Indonesia meningkat tajam sejak pandemi 2020 dan terus stabil hingga 2025. Artinya, kebutuhan untuk memperbaiki diri sudah menjadi bagian dari budaya digital kita. Dan ini kabar baik: semakin banyak orang yang membaca dengan tujuan memahami, bukan sekadar mengisi waktu.

Ketika Motivasi Tidak Cukup

Namun, ada sisi lain yang perlu diingat. Tidak semua buku pengembangan diri membawa dampak positif. Terlalu banyak motivasi tanpa tindakan nyata justru bisa membuat seseorang merasa gagal karena terus menunda perubahan. Fenomena ini disebut toxic positivity—perasaan harus selalu positif, bahkan ketika sedang tidak baik-baik saja. Karena itu, penting bagi pembaca untuk tidak menjadikan buku-buku ini sebagai pelarian dari realitas, tapi sebagai pemandu untuk menapakinya dengan sadar.

Seperti kata Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning: “Hidup tidak pernah menjadi tak tertahankan karena keadaan, tetapi hanya karena kurangnya makna dan tujuan.” Buku pengembangan diri terbaik bukan yang membuat kita melupakan penderitaan, tapi yang membantu kita memaknainya.

Membaca untuk Menemukan Arah, Bukan Pelarian

Dalam masyarakat yang haus validasi, membaca buku pengembangan diri bisa menjadi bentuk perlawanan yang tenang. Ia mengajak kita berhenti sejenak, menatap diri, dan bertanya: “Apa sebenarnya yang saya kejar?” Buku-buku semacam ini memberi kita bahasa untuk memahami emosi sendiri. Mereka tidak menyembuhkan luka secara ajaib, tapi membantu kita menamai luka itu—dan dari sanalah proses penyembuhan dimulai.

Analogi yang indah datang dari Paulo Coelho: “Ketika kamu berjalan di jalanmu sendiri, tidak ada yang bisa menyaingimu.” Buku self-improvement tidak mengajarkan kita untuk menjadi orang lain, tapi untuk kembali ke diri sendiri dengan lebih berani.

Mulai dari yang Dekat

Bila kamu baru ingin memulai membaca buku pengembangan diri, mulailah dari yang paling dekat dengan kehidupanmu. Jika kamu sering menunda, bacalah Atomic Habits. Jika kamu terlalu keras pada diri sendiri, coba The Gifts of Imperfection karya Brené Brown. Jika kamu sedang mencari makna hidup, Man’s Search for Meaning bisa jadi teman yang tepat. Yang penting bukan seberapa cepat kamu menyelesaikan buku itu, tapi seberapa dalam kamu memahaminya.

Dan jika kamu bosan membaca buku terjemahan, banyak penulis Indonesia yang kini menulis dengan gaya reflektif yang segar—seperti Gema Goeyardi, Fellexandro Ruby, atau Iwan Setyawan. Mereka menulis dengan konteks lokal yang lebih dekat dengan pengalaman kita sehari-hari.

Menumbuhkan Kesadaran Kolektif

Lebih jauh lagi, meningkatnya minat pada buku pengembangan diri menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sedang bergerak menuju kesadaran baru: bahwa perubahan sosial dimulai dari perubahan individu. Semakin banyak orang yang belajar memahami dirinya, semakin kuat pula fondasi empati dan kolaborasi dalam masyarakat. Dalam hal ini, literasi bukan hanya alat pengetahuan, tapi juga alat penyembuhan kolektif.

Mungkin ini saatnya kita berhenti menganggap self-improvement sebagai bentuk egoisme. Ia justru bisa menjadi wujud cinta—kepada diri sendiri dan kepada dunia yang ingin kita perbaiki bersama.

Dari Diri Sendiri, Untuk Dunia

Akhirnya, membaca buku pengembangan diri bukanlah tujuan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang. Ia membantu kita memahami bahwa pertumbuhan tidak selalu indah, bahwa kegagalan adalah bagian dari proses, dan bahwa setiap langkah kecil berarti. Dalam dunia yang bising, membaca bisa menjadi bentuk meditasi paling sunyi. Dan seperti kata Albert Camus, “Di tengah musim dingin yang paling gelap, aku akhirnya belajar bahwa dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.”

Mungkin itulah makna terdalam dari self-improvement: menemukan musim panas di dalam diri sendiri—agar kita bisa membawa hangatnya ke dunia luar.

Komentar

Join the conversation

Aras Atas