Bagian Satu
NEGERI TANPA AWAN
Muson Timur – Barat
Bagian 1
Tiupan angin barat dan angin timur telah berubah haluan. Nyaris tidak ada ahli yang terdengar membahasnya. Bisa jadi telah dihapuskan dari materi pelajaran geografi atau ilmu pengetahuan sosial. Haluan angin yang telah berubah arah tiada menentu ini berakibat juga pada tipisnya curah hujan pada musimnya, dan teriknya mentari ketika jadwalnya. Pancaroba, menjadi istilah yang digemari kini. Petani, nelayan, bahkan ahli nujum kebingungan membaca tanda alam. Aktivitas kegiatan bercengkrama dengan alam dipenuhi teknologi dan bisa diatur sesuai kebutuhan manusia. Peranan dukun atau pawang nyaris tak dibutuhkan lagi, karena mereka bekerja atas dasar negosiasi dengan para penjaga alam. Ketika berhasil mereka bersyukur dengan takzim, dan ketika gagal itu sama artinya dengan alam belum mengijinkan. Sementara teknologi bekerja tanpa tedeng aling-aling…angin bisa dipindahkan, volume hujan pun bisa diatur…hebatnya teknologi… …“masihkah malaikat penjaga alam…atau sudah pensiun?”…batin Sontoloyo.
Petani tradisional mengeluhkan air yang kian sedikit, sementara petani modern tersenyum bangga atas panen yang berkelanjutan. Air bagi mereka bukan masalah, karena sumur bor terus bertugas dengan baik. Peternak konvensional menyerah atas wabah, sedangkan peternak bersepatu dan “berproposal” nyaman dari kutu karena “higienis dan bervaksin”, kalaupun terkena wabah mereka terjamin asuransi dan subsidi. Di laut nelayan tak berkompas terhempas angin dan deru ombak yang mengganas, dengan hasil tangkapan yang ‘bijaksana’, cukup untuk makan sekeluarga hari ini. Jauh diperairan yang lebih luas kapal-kapal ikan bertenaga kuda, bersenjata radar penangkap sinyal ikan memanen tak henti, tiada terpengaruh angin dan ombak. Sekali tarik ribuan kilo-gram ikan naek tanpa perlawanan.
Sontoloyo menggeliat meluruskan rusuknya yang terasa pegal…menarik nafas dalam, lalu perlahan mengusap wajah yang nampak gelisah.
Ini bukan semata tentang air, tanah, dan angin…tetapi ini tentang keseimbangan. Ini tentang kepedulian dan tanggungjawab hidup merawat amanah. Siapa penjaga tanah yang mewajibkan dirinya menanam pohon, lalu merawatnya hingga akar, batang, dan daun tumbuh menjadi pelindung tanah…siapa penjaga air yang senantiasa bersilaturrahim dengan penjaga tanah…lalu penjaga angin akan melenakan dengan segarnya udara yang menebar harum bunga dan gurihnya aroma ranum buah pohon yang menghijau.
Kenapa petani harus menebang pohon dilahannya karena fitnah sumber penyakit bagi tanamannya?...kemana penyuluh pertanian ?
Masihkah Indonesia menyandang gelar Negara Agraris ?
Kenapa peternak memberi makan ternaknya dengan makanan “bernutrisi penuh gizi”, yang akhirnya melemahkan ternaknya dan mereka yang mengkonsumsinya ?...Dokter hewan maen kemana ?
Kenapa pula nelayan menebang bakau untuk bungalow, lalu bersedih ketika terumbu karang hancur karena potas dan dinamit ?...penjaga laut asyik menerima sesajen…atau Negara Maritim sisa kenangan ?
Ini bukanlah semata tentang wilayah, bukan pula sekedar tentang waktu. Tetapi, ini semua tentang isme terikat ideal. Bukan masalah baju yang tak terpakai, tetapi ikat kepala yang tertinggal. Ritual pakaian itu tidak sekedar Kain Jarik ditutup kanan atau kiri, bukan pula ritual lupa jumlah kancing baju yang sudah terpakai tahunan. Mestinya kita sudah melewati batas ruang dan waktu untuk sekedar mempertanyakan orang bersarung atau celana, karena keduanya berprinsip menutup aurat. Aurat itu sumbernya rasa malu. Kesalahan dan dosa pun tak dinampakkan, karena aib itu rasa. Jikalau semua harus terang, maka ihlaskanlah keburukan kita terumbar massive. Ketika penghuni negeri berharap di atas negeri tak berawan, maka gelapnya malam tak kan mampu menutup jalan setapak lurus menuju tujuan.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf 56-58).
Alam tidak pernah berbohong, maka pengabdian padanya akan ia balas dengan bijaksana (Suwardi Rasyid)
_____________________
Suwardi Rasyid adalag penulisa buku Ngeri Di Atas Awam dan Kulikan Logika Sontoloyo


Komentar
1 comment