Join our Grup FaceBook Contact Us Join Now!
Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated




KEPADA SIAPA GUBERNUR BERPIHAK?

OLEH: ILHAM AKBAR MUSTAFA

Dengan tajuk penertiban, penggusuran mengalami eufemia makna. Perampasan disamarkan sebagai agenda perbaikan, penjarahan ruang mendapat pembenarannya yang de jure. Dalam perspektif yang demikian, implikasinya yang paling nyata adalah bergesernya posisi warga; dari korban menjadi pelanggar ketertiban. Maka jadilah ia sebentuk praktek penindasan yang sistemik.

Fatalnya, publik juga kerap kali salah sangka dengan solusi yang ditawarkan, relokasi ke rumah susun dianggap solusi yang adil. Padahal, relokasi tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah tapi justru menambah problem kependudukan.

Data menunjukkan, proses relokasi tidak memberikan hak kepemilikan atas rusun kepada warga, melainkan hak pakai dengan keharusan membayar biaya bulanan. Ini merupakan alternatif yang tak sepadan, mengingat sebelum digusur warga memiliki rumah permanen tanpa harus membayar sewa. Bahkan yang paling parah, dari total 113 kasus penggusuran yang dilakukan tahun 2015, 72 kasus di antaranya tidak memberi solusi apapun bagi warga terdampak. Pada tahun 2015, data Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) menunjukan ada 28.572 jiwa penduduk yang menjadi korban penggusuran, mayoritasnya terklasifikasi sebagai masyarakat ekonomi kelas bawah.

Di samping itu, relokasi warga ternyata tidak disertai dengan kepastian atas jaminan tersedianya lapangan pekerjaan baru sebagai kompensasi atas penggusuran. Pada kasus penggusuran kampung nelayan Muara Angke, mayoritas warga terdampak berprofesi sebagai nelayan yang menjalani profesinya puluhan tahun. Pada kasus ini, skema relokasi sebagai solusi atas penggusuran menemukan pertanyaan fundamental, Apakah kebijakan relokasi hanya sekedar be-relasi dengan "tempat tidur" semata, yang secara tidak langsung menyederhanakan atau mereduksi fungsi sosial dan ekonomi dari sebuah tempat tinggal?

Pada kasus penggusuran pemukiman Kawasan Pasar Ikan Luar Batang, fakta menunjukan hal yang jauh memiriskan. Proses penggusuran dilakukan tanpa menunggu selesainya pembangunan rumah susun yang direncanakan sebagai tempat merelokasi warga. Akibatnya, mayoritas warga yang berprofesi sebagi nelayan direlokasi ke rumah susun yang jauh dari sumber penghasilannya.

Pemerintah berkilah dipercepatnya proses eksekusi karena penurunan tinggi muka tanah sebesar 10 sentimeter pertahun menuntut ketinggian tanggul penahan banjir segera dinaikkan sampai ketinggian 3.8 meter. Selanjutnya, kawasan tersebut akan diperuntukan sebagai salah satu bagian dari empat Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa.

Di balik Agresifnya pemerintah melakukan "penertiban" di kawasan utara Jakarta (termasuk reklamasi 17 pulau) nampaknya tidak bisa dipisahkan dari rencana untuk memuluskan proyek prestisius reklamasi Pulau Garuda dan pembangunan tanggul raksasa Giant Sea Wall yang terintegrasi ke dalam megaproyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Dari deretan fakta di atas, maka sepatutnyalah kita mengajukan pertanyaan kepada Gubernur; Kepada siapa ia sedang berpihak? (cokro.siw)

Rate This Article

Thanks for reading: JARGON PERUBAHAN DARI PENGUASA, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //